Jumat, 14 Desember 2012

KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN SIRI


KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN SIRI

DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA




A.    Latar Belakang
Dalam perkembangan kehidupan di masyarakat Indonesia, dikenal istilah perkawinan siri. Istilah perkawinan siri merupakan perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum Islam saja, tanpa mengindahkan peraturan hukum nasional Indonesia.
Terdapat beberapa pengertian dari nikah siri terkait dengan praktik yang terjadi di masyarakat :
ü  Pengertian Pertama: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi  tanpa wali dan saksi.
ü  Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khalayak ramai.
ü  Pengertian Ketiga: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini  tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA.
Pernikahan seperti ini yang dinyatakan sebagai nikah di bawah tangan atau nikah yang tidak tercatat
Selama ini, masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Keberadaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dimaksudkan untuk menampung keanekaragaman peraturan perkawinan dan memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat dijadikan pegangan dan berlaku bagi semua golongan masyarakat yang berada di Indonesia.
Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Adapun untuk melangsungkan perkawinan yang sah, harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan perkawinan dalam pengertian hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghaliidzan, untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Hal yang membedakan antara perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan perkawinan menurut hukum Islam adalah bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan harus dilakukan di hadapan petugas pencatat perkawinan sedangkan pada perkawinan yang mendasarkan pada hukum Islam, perkawinan cukup dilakukan di hadapan ulama atau tokoh agama.
Dengan tidak diakuinya perkawinan siri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan siri dianggap tidak sah menurut Undang-Undang. Kondisi demikian tentunya menimbulkan permasalahan-permasalahan, khususnya mengenai kedudukan hukum anak yang dihasilkan dari perkawinan siri.

B.     Perumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kedudukan anak hasil kawin siri dalam keluarga ?
2.      Bagaimana hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung kawin menurut Hukum Positif Indonesia?
3.      Masalah-masalah apa yang timbul dalam pembagian harta warisan tersebut dan bagaimana pemecahannya ?

C.    Pembahasan
1.      Kedudukan anak hasil kawin siri dalam keluarga
Karena perkawinan siri merupakan perkawinan yang tidak sah, maka anak yang dihasilkan dari perkawinan siri juga disebut sebagai anak tidak sah. Untuk anak tidak sah seringkali juga dipakai istilah anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam doktrin dibedakan antara anak zinah, anak sumbang dan anak luar kawin (juga disebut anak luar kawin dalam pengertian sempit).
Anak hasil perkawinan siri termasuk dalam golongan anak luar kawin dalam pengertian sempit, yaitu anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya tidak terikat dalam perkawinan yang sah dan tidak ada larangan untuk saling menikahi.
Mendasarkan pada ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin timbulah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya”, maka dapat dikatakan bahwa antara anak luar kawin dengan ayah dan ibunya pada asasnya tidak ada hubungan hukum, dan hubungan hukum tersebut baru ada kalau ayah dan atau ibunya memberikan pengakuan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan anak hasil perkawinan siri dalam keluarga adalah tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan ibunya.

2.      Hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung kawin menurut Hukum Positif Indonesia.
Berpedoman pada kedudukan anak hasil perkawinan siri yang dinyatakan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan ibunya, tentu saja membawa konsekuensi bahwa anak tersebut juga tidak memiliki hak waris atas harta peninggalan ayah dan ibunya.
Kepastian hukum untuk para pasangan yang melakukan nikah siri sedianya memang belum didapati secara penuh dikarenakan pernikahan ini dikatakan merugikan pihak wanita ke depannya.
Selain anak tidak dapat memiliki akte lahir karena tidak tercantumnya nama ayah, wanita yang berpisah dari pasangannya kelak tidak akan mendapatkan hak waris untuk anaknya.
Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.
Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya.
Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHPerdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris. Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah kandungnya.

3.      Masalah-masalah yang timbul dalam pembagian harta warisan dan pemecahannya
Disebutkan di atas, bahwa anak hasil perkawinan siri tidak memiliki hak waris atas harta peninggalan ayah dan ibunya. Untuk memecahkan masalah tersebut, usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengakuan terhadap anak tersebut, baik melalui pengakuan sukarela maupun melalui pengakuan terpaksa.
Anak luar kawin hanya mempunyai hak waris terhadap warisan ayah/ibunya sepanjang ayah/ibunya sepanjang ayah ibunya telah mengakuinya dengan sah.Jika ALK belum diakui tidak ada hubungan perdata antara anak tersebut dengan orang tuanya itu dan tanpa hubungan perdata (tidak ada  hubungan perdata (tidak ada pertalian keluarga) maka tidak ada pula hubungan pewarisan antara mereka.
Meskipun anak luar kawin mempunyai hak waris terhadap orang tuanya hak warisannya itu sangat “inferior sifatnya jika dibandingkan dengan hak waris anak-anak sah karena :
1.      Ia tidak mempunyai hak waris tersendiri, dalam arti kata terhadap warisan orang tuanya itu ia tidak mungkin mewaris sendirian  sepanjang orang tuanya masih mempunyai keluarga sedarah dalam batas derajat yang boleh mewaris yaitu enam derajat.
2.      Ia selalu “membonceng” pada salah satu kelas ahli waris sah yang empat. ALK itu hanya mempunyai hak waris tersendiri jika orang tuanya tidak meninggalkan keluarga yang termasuk dalam keempat-empat kelas ahli waris sah.
3.      Porsi atau bahagian yang diterimanya adalah lebih kecil  dari porsi yang akan diterimanya sekiranya ia adalah anak sah. Besar kecilnya porsi itu bukan saja ditentukan oleh berapa  saja ditentukan oleh berapa orang temannya yang mewaris, akan tetapi juga dan terutama sekali oleh kenyataan ahliwaris kelas berapa temannya mewaris itu.
Hak waris anak luar kawin yang diakui sah diatur dalam pasal 862 sampai  diatur dalam pasal 862 sampai dengan pasal 873.



D.    Kesimpulan
1.      Kedudukan anak hasil kawin siri dalam keluarga adalah tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya ataupun dengan ibunya.
2.      Anak hasil kawin siri tidak memiliki hak waris atas harta peninggalan ayah dan ibunya.
3.      Masalah yang timbul dalam pembagian waris terhadap anak hasil kawin siri adalah bahwa anak hasil perkawinan siri tidak memiliki hak waris atas harta peninggalan ayah dan ibunya. Untuk memecahkan masalah tersebut, usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengakuan terhadap anak tersebut, baik melalui pengakuan sukarela maupun melalui pengakuan terpaksa.