Rabu, 11 April 2012

Teori Strain

I.    TOKOH SENTRAL  TEORI STRAIN  (ROBERT K. MERTON)
Robert King Merton (biasa disingkat Robert K. Merton) lahir pada tanggal 4 Juli 1910 di pemukiman kumuh di Philadelphia Selatan. Awal mengubah namanya adalah pada usia 14 tahun, dari Meyer R. Schkolnick ke Robert Merlin kemudian menjadi Robert K. Merton. Ayahnya bekerja sebagai tukang kayu dan sopir truk. Keluarganya adalah imigran yahudi.
Merton dibesarkan dalam semangat belajar yang sangat tinggi. Sebagai seorang siswa SMA di Philadelphia High
                                                           







School , ia  sering berkunjung dari tempat-tempat budaya dan pendidikan di dekatnya termasuk Andrew Carnegie Perpustakaan, Academy of Music, Perpustakaan Pusat, dan Museum Seni. Ia mengadopsi nama Robert K. Merton awalnya sebagai nama panggung untuk suatu pertunjukan sulap.
Karena kepandaian Merton, ia mendapatkan beasiswa di Temple University. Dari universitas tersebut, ia mendapatkan gelar B.A, dan menjadi tertarik dengan sosiologi. Memulai karir sosiologis di bawah bimbingan George E. Simpson di Temple University  Philadelphia (1927-1931). Dia bekerja sebagai asisten peneliti untuk Simpson pada sebuah proyek yang berkaitan dengan ras dan media. Di bawah kepemimpinan Simpson, Merton menghadiri pertemuan tahunan ASA, di mana ia bertemu Pitrim A. Sorokin, pendiri Universitas Harvard Departemen Sosiologi. 
Beberapa penulis buku teori sosiologi modern mengatakan bahwa Merton adalah murid Parsons. Artinya, kalau pendekatan Merton ini bersifat fungsionalisme, hal ini tidak lepas dari pengaruh besar gurunya itu. Tetapi sementara itu ada pula yang menulis bahwa hubungan Merton dan Parsons adalah sebatas kolega. Parsons adalah seniornya Merton. Selain itu, Merton juga tidak secara langsung banyak mengkritik pendekatan-pendekatan fungsionalisme parsons.
Merton kemudian dipindahkan ke Harvard dan mulai bekerja sebagai asisten peneliti untuk Sorokin (1931-1936).  Dengan bantuan beasiswa pulalah, ia mendapatkan gelar MA dan Ph.D dari Universitas Harvard. Merton adalah murid yang lulus paling awal dan sangat berpengaruh bagi lingkungan disekitarnya.
Selama kuliah di Harvard, Merton banyak dipengaruhi oleh Pitirimv Sorokin yang tidak terlalu suka pada pekerjaannya Parsons. Sorokin berasumsi bahwa Parsons berteori pada skala luas (makro). Kolega Merton yang sangat berjasa lainnya adalah Paul K. Lazarfeld. Lazarfeldlah yang membuat Merton sangat aktif dalam penelitian-penelitian empiris sejak tahun 1941. Kerja sama yang dekat antara keduanya ketika Merton bekerja di Bureau of Applied Social Resarch di Universitas Columbia sampai Lazarfeld meninggal pada tahun 1976. Bahkan Merton pernah menjabat sebagai Associate Director di lembaga tersebut pada tahun 1942-1971. Jasa yang diwariskan Merton pada lembaga ini cukup jelas, yaitu membuat link (hubungan/pertemuan) antara teori dan penelitian, mengukuhkan kajian dan membuat valid beberapa penemuan.
Dia mengajar di Harvard sampai tahun 1938, ketika ia menjadi profesor dan ketua Departemen Sosiologi di Tulane University . Pada tahun 1941 ia bergabung dengan Columbia University,  menjadi Giddings Profesor Sosiologi pada tahun 1963.
Merton telah membuat sebuah buku yang berjudul Social Theory and Social Structure. Dalam buku tersebut, kita dapat melihat bahwa tidak seperti Parsons yang banyak berhenti pada tipologi dan teori yang bersifat abstrak, ia merumuskan hipotesis empiris dan mengetesnya dalam dunia nyata dengan mengumpulkan data dan menganalisis hasilnya.
Merton pernah menjadi pimpinan Jurusan Sosiologi di Tulane, sebelum ulang tahunnya yang ke-31 dan datang ke Columbia tahun 1941. Pada tahun 1957, Merton terpilih sebagai presiden American Socology Society. Hal yang cukup membanggakan ketika Merton menjadi Sosiolog Amerika pertama yang mendapatkan penghargaan berupa National Medal of Science dari Presiden Amerika pada tahun 1994. Lebih dari 20 universitas besar juga memberikan kepadanya gelar kehormatan, termasuk Harvard, Yale, Columbia dan Chicago, Universitas Leiden, Wales, Oslo dan Kraków, Universitas Ibrani Yerusalem dan Oxford. Pada tahun 1994, Merton dianugerahi US National Medal of Science dan sosiolog pertama untuk menerima hadiah.
Merton menerima gelar kehormatan nasional dan internasional untuk penelitian. Dia adalah salah satu dari sosiolog pertama yang terpilih menjadi anggota National Academy of Sciences dan sosiolog Amerika pertama yang terpilih sebagai anggota asing dari Royal Swedish Academy of Sciences.  Dia juga anggota dari American Philosophical Society.
Pada tahun 1934, Merton menikah dengan Suzanne Carhart. Dianugrahi  seorang putra yang bernama Robert C. Merton, pemenang Hadiah Nobel di bidang ekonomi tahun 1997, dan dua orang putri, yaitu Stephanie Merton Tombrello dan Vanessa Merton, seorang Profesor Hukum di Pace University School of Law. Merton dan Carhart berpisah pada tahun 1968, dan Suzanne meninggal pada tahun 1992. Merton menikah kembali dengan sesama sosiolog yaitu Harriet Zuckerman pada tahun 1993. Robert K. Merton wafat pada tanggal 23 Februari 2003 dengan usia 93 tahun.
Tokoh lain yang mengemukan TEORI STRAIN  atau teori ketegangan adalah Albert K. Cohen (1955), Richard Cloward dan Lloyd Ohlin (1960), Robert Agnew (1992), dan Steven Messner dan Richard Rosenfeld (1994).



II.  INTI  TEORI STRAIN   (MARTIN K. MERTON)
“Individu-individu dari kelas sosial rendah menjadi frustasi oleh ketidakmampuannya untuk beradaptasi dalam anugerah ekonomi masyarakat yang lebih luas, akan mengarahkan kembali energi mereka ke  dalam kegiatan kriminal sebagai suatu cara untuk memperoleh anugerah ini” (Merton, 1957)
TEORI STRAIN atau Teori Ketegangan, memiliki fokus terhadap suatu konflik antara tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Struktur sosial merupakan akar dari masalah kejahatan, karena itu pendekatan dari  TEORI STRAIN kadang disebut a structural explanationTEORI STRAIN berasumsi bahwa pada dasarnya orang itu taat hukum, tetapi dibawah tekanan besar mereka akan melakukan kejahatan; disparitas antara tujuan dan sarana iniliah yang memberikan tekanan.
Hal ini terjadi karena adanya ketidak-seimbangan distribusi kekayaan dan kekuatan (kekuasaan). Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi kalangan tertentu sehingga berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Ketika semua orang bergiat untuk mencapai kesuksesan, orang yang paling tidak mungkin sukses melalui cara-cara yang sah adalah yang paling tertekan untuk (terpaksa) mempergunakan kesempatan yang ilegal atau cara-cara yang tidak sah.




III.   MATERI TEORI STRAIN
Para fungsionalis mengemukakan bahwa kejahatan merupakan suatu bagian alami dalam masyarakat, bukan suatu penyimpangan atau unsur asing di tengah-tengah kita. Nilai umum sesungguhnya menghasilkan kejahatan. Sosiolog Richard Cloward dan Lloyd Ohlin (1960) mengidentifikasikan masalah utama dunia industri yaitu keperluan untuk menemukan dan melatih orang-orang yang berbakat dalam tiap generasi—baik mereka yang dilahirkan dalam kekayaan maupun kemiskinan—sehingga mereka dapat mengambil alih pekerjaan teknis dalam masyarakat modern.
Dikala anak-anak dilahirkan, tidak seorangpun mengetahui siapa diantara mereka yang akan memiliki kemampuan untuk menjadi dokter gigi, ahli fisika nuklir atau insinyur. Untuk memperoleh orang yang berbakat agar bersaing satu sama lain, masyarakat berupaya memotivasi setiap orang agar meraih sukses, masyarakat melakukannya dengan jalan membangkitkan rasa tidak puas—menjadikan orang merasa tidak puas—menjadikan orang merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki sehingga mereka akan berupaya “memperbaiki” diri mereka.
Dengan demikian sebagian besar orang akhirnya memiliki hasrat besar untuk mencapai tujuan budaya (cultural goal) seperti kekayaan atau status yang tinggi atau untuk meraih sasaran apapun yang ditawarkan masyarakat kepada mereka. Namun tidak semua orang memiliki akses setara ke sarana Instititusional (intitutionalized mean) dalam masyarakat, yaitu cara yang sah untuk meraih sukses. Beberapa orang misalnya, menemukan jalan mereka ke pendidikan dan pekerjaan dihalang-halangi. Orang ini mengalami ketegangan (strain) atau frustasi yang dapat memotivasi mereka untuk mengambil jalur menyimpang.
Persfektif ini yang dikenal sebagai teori ketegangan (Strain Theory), dikembangkan oleh sosiolog Roberth King Merton. Menurut Merton, orang yang mengalami ketegangan cenderung merasakan anomie, yaitu suatu perasaan ketiadaan norma (normlessness), karena norma umum (pekerjaan, pendidikan) nampaknya tidak mengantarkan mereka ke mana-mana, maka mereka mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan diri dengan norma umum. Mereka bahkan dapat merasa diperlakukan tidak adil oleh sistem, dan peraturannya dapat nampak tidak sah.
Tabel Bagaimana Orang mencocokkan Tujuan dengan Cara Mereka (Merton)
Apakah Mereka Merasakan Ketegangan yang Mengarah ke Anomie?
Cara Adaptasi
Tujuan Budaya
Sarana Institusional
Tidak
Konformitas
Menerima
Menerima
Ya
Inovasi
Menerima
Menolak
Ritualisme
Menolak
Menerima
Pengunduran Diri
Menolak
Menolak
Pemberontakan
Menolak/ Mengganti
Menolak/ Mengganti

Tabel di atas membandingkan reaksi orang terhadap tujuan budaya dan cara terinstitusionalisasi. Merton menganggap individu akan merespon dalam menghadapi kegagalan untuk mencapai keberhasilan. Bagaimanapun mereka akan bereaksi juga, bergantung pada posisi sosial mereka dalam masyarakat. Merton mengidentifikasi lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu, empat diantaranya merupakan perilaku menyimpang.
Reaksi pertama, yang menurut Merton paling lazim, ialah Konformitas (kepatuhan), yaitu penggunaan cara yang secara sosial dibenarkan untuk mencapai tujuan budaya. Dalam masyarakat industri, sebagian orang berupaya mendapatkan pekerjaan yang baik, pendidikan yang baik dan seterusnya. Jika tidak ada pekerjaan yang berpenghasilan baik, mereka menerima pekerjaan tersebut walaupun kurang diminati. Jika akses pendidikan mereka ke Universitas Indonesia atau Universitas Pajajaran ditolak, mereka masuk Universitas Cenderawasih saja, seperti kita sekarang ini  mengambil kelas petang (ekstensi) atau kuliah di Sekolah Tinggi Umel Mandiri saja. Singkatnya sebagian besar orang mengambil jalan yang secara sosial dibenarkan.
Empat reaksi selanjutnya yang tersisa merupakan jalur penyimpangan, mewakili reaksi terhadap ketiadaan norma (anomie). Jalur penyimpangan pertama yaitu inovasi (innovator), adalah orang yang menerima tujuan masyarakat namun menggunakan cara yang tidak sah dalam upaya meraihnya. Para pengedar obat terlarang, misalnya, menerima tujuan pencapaian kekayaan, namun mereka menolak jalur sah untuk melakukannya. Contoh lainnya adalah para pelaku penggelapan, perampok dan penipu. Contoh kasus, seorang mahasiswa yang baru kuliah 3 semester di sebuah universitas, berhasil diterima menjadi dosen dan mengajar selama 3 tahun di salah satu universitas dengan memakai ijazah palsu. Dalam kasus ini tujuan yang hendak diraih adalah menjadi sarjana, sesuai dengan tujuan masyarakat, namun caranya memalsukan ijazah adalah bertentangan dengan tujuan yang ditentukan masyarakat.
Jalur penyimpangan kedua ditempuh oleh orang yang putus asa dan menyerah dalam upaya meraih tujuan budaya. Namun mereka masih berpegang pada peraturan perilaku yang konvensional. Merton menamakan tanggapan ini Ritualisme (ritualism). Meskipun para ritualis telah berhenti mencari keunggulan dan kemajuan kedudukan atau status, namun mereka bertahan dengan jalan mengikuti peraturan dalam pekerjaan mereka.
Para guru yang idealismenya telah hancur, misalnya, tetap bertahan dalam kelas dimana mereka mengajar tanpa gairah. Tanggapan mereka dianggap menyimpang karena mereka tetap berpegang pada pekerjaan walaupun mereka telah meninggalkan tujuannya, yang dapat berupa merangsang pikiran anak didik atau menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik. Para guru yang tanpa gairah ini tetap mengajar sebatas melaksanakan kewajiban saja, tanpa ada hasrat memotivasi para anak didik.
Contoh lainnya, seorang karyawan kelas menengah ke bawah yang tidak mau mengejar sukses karena sudah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki, takut mengalami kegagalan atau kekecewaan. Karena adanya sikap diatas maka usaha untuk meraih sukses dipendam tetapi cara untuk meraih sukses tetap dipakai meskipun disertai sikap menahan diri.
Jalur penyimpangan ketiga yaitu pengunduran diri (retreatism). Orang-orang yang menolak baik tujuan budaya maupun sarana institusional untuk mencapainya. Mereka yang meninggalkan pencarian kesuksesan dengan beralih ke alkohol dan obat-obatan, adalah para pengundur diri. Orang-orang seperti itu bahkan berhenti berpura-pura seolah-olah mereka masih menganut tujuan masyarakat.
Tipe terakhir tanggapan penyimpangan ialah pemberontakan (rebellion). Karena yakin bahwa masyarakat mereka korup maka para pemberontak, seperti halnya para pengundur dir, menolak baik tujuan masyarakat maupun sarana institusional. Namun berbeda dengan para pengundur diri, para pemberontak berupaya menggantikan tujuan yang ada dengan tujuan yang baru. Kaum revulusioner merupakan bentuk paling lazim dari para pemberontak ini. Contoh: para pemimpin politik dengan cara mereka sendiri berhasil menggulingkan tatanan politik yang ada dan menerapkan suatu tatanan politik yang baru.
Singkatnya TEORI STRAIN,  menggaris-bawahi prinsip sosiologis bahwa para penyimpang adalah produk masyarakat. Karena lokasi sosial mereka maka beberapa orang mengalami tekanan atau frustasi lebih besar dikala mereka berupaya mencapai tujuan budaya yang ditentukan bagi mereka. Dengan tekanan yang lebih besar tersebut maka mereka lebih cenderung menyimpang dari norma masyarakat. Hasilnya adalah keempat tipe penyimpangan tersebut yaitu inovator, ritualis, pengundur diri dan pemberontak.
Konsepsi Merton ini dipengaruhi pemikiran dari Pitirin A. Sorokin (1928) dalam bukunya Contemporary Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam bukuThe Structure of Social Action.
Menurut Merton, konsep anomie yang diredefinisinya adalah bahwa ketidaksesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur masyarakat) karena adanya pembagian kelas. Karena itu, menurut John Hagan, teori  Merton berorientasi pada kelas (“Merton is in exploring variations in crime and deviance by social class”)
Masyarakat industri tidak mengalami kesulitan untuk mensosialisasikan orang miskin agar mereka ingin memiliki sesuatu. Sebagaimana halnya  dengan orang kaya, orang miskin pun dihujani pesan-pesan yang mengajak mereka untuk membeli berbagai barang mulai dari celana jeans, pakaian bermerek dan pemutar DVD, hape Blackberry, tablet Samsung Note sampai ke mobil mewah semacam ferrari. Televisi terutama tayangan sinetron dan film menampilkan gambaran yang hidup mengenai orang dari golongan kelas menengah yang menikmati kehidupan mewah. Gambaran ini memperkuat mitos bahwa semua orang mampu menikmati berbagai barang dan jasa dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebaliknya, sistem sekolah, jalur paling lazim ke arah sukses, sering gagal melayani orang miskin. Kelas menengah mengelolanya dan disana anak-anak orang miskin dihadapkan pada suatu dunia yang bertentangan dengan latar belakang mereka. Tatabahasa dan kosakata anak-anak miskin yang tidak baku ditaburi secara bebas dengan apa yang dianggap kelas menengah sebagai kata-kata jorok. Ide kelas menengah mengenai ketepatan waktu dan kerapihan, maupun kurangnya persiapan dalam keterampilan menulis, tidak sesuai dengan lingkungan mereka yang baru. Karena mengalami hambatan seperti itu maka orang miskin lebih cenderung putus sekolah daripada teman mereka yang lebih mampu. Kegagalan di bidang pendidikan ini kemudian menutup pintu ke jalur-jalur sah menuju kesuksesan finansial.
Namun tidak jarang terbuka pintu lain bagi orang miskin, yang oleh Richard Cloward dan Lloyd Ohlin dinamakan struktur kesempatan tidak sah (illegitimate opportunity structure). Tekstur kehidupan di daerah perkotaan misalnya, sarat dengan perilaku penodongan, perampokan, pengedaran obat terlarang, pelacuran, permucikarian, perjudian dan kejahatan lain yang menghasilkan uang, yang biasanya dinamakan “hustles”.

Bagi banyak orang miskin, “hustles” merupakan suatu model peran—mempesona, berkuasa, citra mengenai “uang gampang”—karena alasan itulah maka kegiatan ini menarik sejumlah besar orang miskin. Geng merupakan suatu cara struktur kesempatan tidak sah, memanggil kaum muda yang tidak beruntung.
Orang kaya atau orang yang termasuk kelas sosial yang lebih tinggi tidaklah berarti bebas dari kejahatan, mereka menghadapi panggilan struktur kesempatan tidak sah dengan cara berlainan dengan orang miskin. Orang kaya melakukan bentuk kejahatan lain yang lebih tepat dilakukan bagi mereka. Para dokter misalnya, tidak menodong anggota masyarakat, tetapi banyak melakukan kecurangan dengan jaminan kesehatan. Mungkin kita pernah mendengar mengenai pegawai yang menipu atasan mereka.
Dengan kata lain, alih-alih melakukan penodongan, pemucikarian dan perampokan, orang yang lebih mampu memiliki “kesempatan” untuk menghindari pajak penghasilan, menyogok pejabat publik, melakukan penggelapan dan sebagainya. Edward Sutherland menamakan istilah kejahatan kerah putih (white collar crime) untuk menunjuk kejahatan yang dilakukan orang terhormat dan berstatus tinggi dalam rangka pekerjaan dan pencapaian tujuan mereka.
TEORI STRAIN beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal.
TEORI STRAIN  memiliki fokus terhadap suatu konflik antara tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan distribusi kekayaan dan kekuatan (kekuasaan). Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi kalangan tertentu sehingga berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.  Ketika terjadi suatu kondisi frustasi terhadap norma atau aturan-aturan konvensional, seseorang atau kelompok tertentu mencari cara lain yang bertentangan dengan norma dan aturan yang ada, yang biasanya menjadi tingkah laku kejahatan.
Paradigma yang digunakan adalah paradigma yang memiliki fokus pada pencarian jawaban mengapa timbul suatu tingkah laku kejahatan. Karena hubungan sebab akibat tersebut, yaitu tingkah laku adalah hasil dari hubungan sebab akibat antara individu dengan aspek tertentu dari lingkungan mereka, kejahatan dipandang sebagai obyek dan yang harus dicari adalah faktor-faktor yang dapat mengungkapkan tingkah laku kriminal dengan memusatkan perhatian kepada pelaku kejahatan sebagai suatu gejala yang mesti dipelajari.
Menurut Merton, suatu masyarakat menanamkan pada anggota-anggotanya suatu hasrat untuk mencapai cita-cita tertentu dan kemudian menggariskan cara-cara yang sah melalui mana cita-cita itu dapat dicapai. Hal itu beralasan apabila seseorang dihalang-halangi dalam usahanya baik itu wanita atau pria untuk mencapainya melalui berbagai manuver atau cara yang tidak legal.
Individu-individu dari kelas sosial rendah menjadi frustasi oleh ketidakmampuannya untuk beradaptasi dalam anugerah ekonomi masyarakat yang lebih luas, akan mengarahkan kembali energi mereka ke  dalam kegiatan kriminal sebagai suatu cara untuk memperoleh anugerah ini.
TEORI STRAIN memandang manusia dengan sinar atau cahaya yang optimis. Dengan perkataan lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kodisi sosial lah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan. Mengingat adanya kenyataan bahwa kesempatan legitimasi tidak tersebar merata dalam masyarakat, TEORI STRAIN ini mengusulkan adanya suatu mata rantai kuat antara kejahatan dan kelas sosial (Merton, 1957).
Dalam membahas dasar-dasar atas fondasi TEORI STRAIN ini, Merton mempertahankan pendapatnya bahwa tekanan yang lebih berat atas tujuan dan cara yang digunakan untuk mencapainya serta restriksi atau pembatasan peluang-peluang legitimasi yang ada bagi sebagian penduduk merupakan kondisi yang diperlukan dalam mengembangkan rasa anomi dan ketegangan, yang selanjutnya memberikan sumbangan bagi problem kejahatan suatu masyarakat.
Menurut Merton, ketegangan (strain) dapat berupa:
a.    Struktural : ini mengacu pada proses di tingkat masyarakat dan mempengaruhi individu memandang kebutuhannya, yaitu jika struktur sosial tertentu pada dasarnya tidak memadai atau ada peraturan yang tidak memadai, hal ini dapat mengubah persepsi individu untuk sarana dan peluang , atau
b.    Individu: ini mengacu pada friksi dan nyeri yang dialami oleh seseorang karena ia mencari cara untuk memuaskan kebutuhannya, yaitu jika tujuan dari suatu masyarakat menjadi signifikan benar-benar tercapai, menjadi lebih penting daripada sarana diadopsi.
Merton menggunakan Amerika Serikat sebagai contoh untuk mengilustrasikan teorinya. Masyarakat Amerika mengembangkan gagasan dari 'American Dream'. Filosofi dibalik 'American Dream' adalah bahwa siapa pun, tanpa memandang latar belakang sosial seseorang, bisa mencapai kesuksesan finansial. Seperti biasa untuk mencapai keberhasilan materi adalah melalui kerja keras, pendidikan, dan ambisi.
Di Amerika sudah melembaga suatu cita-cita dan tujuan untuk mengejar kesuksesan semaksimal mungkin, yang mana diukur berdasarkan jumlah harta kekayaan. Namun pada kenyataannya,  tidak semua orang mampu untuk berhasil. Ada pemenang dan ada pecundang. Tidak semua masyarakat di Amerika dapat mencapai cita-cita tersebut melalui cara yang dibenarkan. Oleh karena itu, terdapat individu-individu yang berusaha mencapai tujuannya dengan melakukan pelanggaran. Umumnya, individu ini berasal dari golongan kelas bawah dan golongan minoritas.
 Argumen Merton adalah bahwa tekanan dari masyarakat untuk mencapai kesuksesan finansial secara aktif mendorong individu (yang kalah) untuk melakukan kejahatan dan karena itu adalah penyebab dari perilaku menyimpang. Merton mengatakan, struktur sosial dan budaya menghasilkan tekanan untuk perilaku sosial menyimpang pada orang dengan berbagai terletak di bawah struktur.
Dengan kata lain, masyarakat Amerika menghasilkan keinginan untuk harta benda, terutama karena keberhasilan diukur dengan pencapaian harta tersebut. Dalam masyarakat yang materialistis, mereka yang tidak bisa berhasil dengan cara yang sah akan memakai cara licik untuk melakukannya.
Kendatipun TEORI STRAIN ini telah menghasilkan sejumlah besar penyelidikan-penyelidikan empiris, banyak dari studi ini telah memberikan hasil yang sangat tidak konsisten dengan hipotesa Merton. Riset terhadap kelas sosial, ketidaksamaan dan akibat putus sekolah, misalnya, banyak mempertanyakan dukungan pendapat dan ajaran para teoritisi tegang. Hasil pelbagai studi riset yang terdahulu mengenai kelas sosial dan kejahatan, konsisten dengan perkiraan bahwa lebih banyak orang dengan latar belakang sosio-ekonomi rendah dibandingkan dengan sosio ekonomi tinggi, yang melibatkan diri dalam pelbagai bentuk kegiatan ilegal.
Penyelidikan yang dilakukan lebih belakangan ini, khususnya yang telah memanfaatkan data pelaporan sendiri, telah memperlihatkan pertalian antara kelas sosial dan kejahatan menipis apabila tidak sepele, kendatipun secara kontroversil terus mengelilingi atau mengepung asosiasi yang dimaksud antara kelas sosial dan kejahatan (Braithwate, 1981). Riset atas pendapatan penghasilan yang tidak sama, sementara itu meyakinkan juga cenderung untuk tidak konsisten dengan formulasi Merton.
Beberapa studi mengenai sekolah dan kejahatan menyarankan bahwa putus sekolah pada umumnya menjurus pada tingkat peningkatan dan bukannya penurunan seperti TEORI STRAIN telah meramalkannya perilaku anti sosial.
Dalam dukungan sebagian teori Merton tentang kriminalitas, Brennan dan Huizinga (1975) menemukan bahwa persepsi kaum muda mengenai terbatasnya peluang, anomie, tekanan kawan sebaya dan pengecapan negatif atau dicap jelek mencapai 31% dari variasi mengenai frekuensi melaporkan sendiri perbuatan delinkuensi dalam 730 anak remaja. Cernkovichd dan Giordano (1979) melihat bahwa sementara delinkuen pria dan wanita menyatakan rasa sangat diblokir kesempatannya daripada pria dan wanita yang non delinkuen, variabel ini menjelaskan hanya 10% dari perbedaan dalam perilaku delinkuen.
Dalam usaha menyelidiki pendapat primer TEORI STRAIN secara langsung, Steven Stack (1983) membandingkan angka yang dilaporkan tentang pembunuhan dari kajahatan atas harta benda melalui indeks Paglin Gini mengenai ketidaksamaan penghasilan bagi semua 50 negara bagian. Mengenai terjadinya agresifitas sekelompok pelajar ibukota di awal tahun 1993, menarik untuk dikaji dengan pendekatan teori tegang ini.
Suatu analisa regresi atau kemunduran berganda mengenai data ini mengungkapkan bahwa ketidaksamaan penghasilan ada kaitannya dengan pembunuhan tapi bukan kejahatan terhadap harta benda. Stack melaporkan lebih jauh  bahwa suatu analisa pendahuluan tentang data yang dihimpun terhadap 29 negara, memberikan hasil serupa.
Penemuan ini menimbulkan sejumlah problema bagi TEORI STRAIN, karena Merton mempertentangkan bahwa penghasilan yang tidak sama harus menjurus pada meningkatnya tingkat kejahatan yang diorientasikan pada ekomomi. Para teoritis dan pakar riset yang bersifat kritis terhadap TEORI STRAIN mempertentangkan bahwa model ini menderita kelebihan sepanjang yang menyangkut komitmen tujuan tanpa adanya cara-cara yang berlainan dalam mencapai tujuan, dapat mengakibatkan terlibatnya seseorang dalam kegiatan kriminal (Johnson, 1979).
Hirschi (1969) mampu mendemonstrasikan bahwa, komitmen bagi tujuan-tujuan konvensional cukuplah untuk menjelaskan keterlibatan kriminal dan bahwa faktor-faktor tambahan seperti halnya yang dianut para teoritisi TEORI STRAIN, sangat berlebihan bagi hubungan “kejahatan tujuan”.
Pada suatu analisa tentang pasangan data berganda yang dilakukan Liska (1971), tiba pada kesimpulan serupa. Dengan mencari kesalahan penyelidikan Hirschi dan Liska, Margaret dan Michael Leiber (1989) memperdebatkan bahwa terputusnya mata rantai antara tujuan ekonomi dan cara pendidikan merupakan ujian yang lebih memadai mengenai teori tegang daripada diskontinuitas atas terputusnya hubungan yang lebih umum dilakukan antara aspirasi pendidikan dan harapan-harapan.
Dengan menerapkan logika ini kepada sampel lebih dari 1.600 kaum remaja yang lebih tua usianya di Seatle, daerah Metropolitas Washington, Farnworth dan Leiber melihat adanya kaitan yang moderat antara terputusnya hubungan dan kaum utilitarian atau kejahatan yang ditujukan pada harta benda dan tipis, tetapi bagaimanapun menyolok juga kaitan antara terputusnya hubungan dan delinkuensi bukan utilitarian.
Meskipun penemuan-penemuan ini nampak memberikan dukungan bagi teori yang dikembangkan para teoritisi TEORI STRAIN, yaitu bahwa perasaan kesempatannya diblokir menjurus kepada keterlibatan kriminal, ciri korelasi penyelidikan ini menimbulkan problem penafsiran karena itu dapat dengan mudah sekali dipertentangkan bahwa tujuan ekonomi tinggi dan harapan pendidikan rendah merupakan akibat dan bukan penyebabnya keterlibatan kriminal.
Disamping problem-problem dengan validitas atau keabsahan empirisnya, TEORI STRAIN juga telah mendapat kecaman karena dianggap terlampau umum dan tidak cermat (Bachr, 1979) gagal dalam memperhatikan kriminalitas orang-orang yang dibesarkan dalam keluarga kelas menengah (Elliot dan Voss, 1975) dan meremehkan perbedaan penting individu dalam perilaku (Wilson dan Herrnstein, 1985). Selain itu, sangat tidak berhasil dalam memberikan penjelasan mengapa sebagian besar pemuda kelas pekerja tidak pernah mengambil jalan atau terlibat kejahatan atau mengapa banyak delinkuen meninggalkan cara hidup kriminal pada saat mereka menginjak usia dewasa (Hirschi, 1969). Kekurangan atau kelemahan adalah bahwa berlawanan dengan ramalan TEORI STRAIN, aspirasi tinggi dikalangan kaum muda kelas pekerja cenderung untuk berkorelasi secara kebalikannya dengan delikuensi kemudian.
Sebagai respon atas banyak kecaman yang dilontarkan pada TEORI STRAIN ini, para penyelidik telah berusaha mengintegrasikannya dengan model-model perilaku kriminal lain. Cloward dan Ohlin, 1960, misalnya berusaha untuk mengintegrasikan TEORI STRAIN dengan pendekatan asosiasi diferensiasi Sutherland, dengan mengargumentasikan bahwa pengaruh TEORI STRAIN tidak akan beroperasi terkecuali apabila orang juga memiliki peluang untuk belajar dari kawan-kawan delinkuen sebayanya.
Betapapun dalam test empiris atas teori ini, Elliot dan Voss (1974) memperoleh konfirmasi bagi komponen model asosiasi diferensiasi namun akhirnya tidak memperoleh dukungan bagi komponen tegang dan anomie. Pada akhirnya Elliot, Ageton dan Canter (1979) berusaha meningkatkan relevansi antara TEORI STRAIN melalui mensintesakan dengan teori kontrol sosial Hirschi (1969).
Sementara integrasi Elliot dan rekan nampak mengemukakan banyak pendapat yang diremehkan oleh TEORI STRAIN, namun bagaimanapun masih harus dievaluasi dengan cermat dari segi pandangan empiris. Akibatnya, hal tersebut tetap merupakan kemungkinan yang menarik serta menunggu analisa selanjutnya. Dari riset yang ditinjau kembali akan nampak bahwa TEORI STRAIN hanya sedikit sekali pengaruhnya bagi kita yang tertarik untuk mengungkapkan misteri kejahatan. Dari segi kemampuannya untuk menjelaskan gaya hidup seorang kriminal mungkin bisa dibenarkan. Betapapun TEORI STRAIN dapat terbukti lebih berguna dalam menguraikan aspek kejahatan dalam masyarakat secara keseluruhan.
Keributan di daerah Overtown Miami, Floroda, suatu lingkungan utama kelas rendah orang kulit hitam dalam bulan Januari 1989 merupakan kasus pokok. Kendatipun dimungkinkan bahwa beberapa dari individu yang berpartisipasi dalam kericuhan gangguan keamanan ini merupakan para kriminal dengan gaya hidupnya, sebagian besar terdiri dari warga yang frustasi dan murka bertahun-tahun karena ketidaksamaan ekonomi dan persepsi yang tumbuh bahwa mereka merasa diberikan kesempatan-kesempatan berdasarkan hukum untuk mencapai kemajuan. Begitu kericuhan tadi selesai, bagaimanapun juga sebagian besar individu-individu ini kembali kepada keluarga mereka, teman maupun pekerjaan dan bukannya meneruskan perbuatan tidak legal mereka, ini memberikan kenyataan bahwa sementara TEORI STRAIN mungkin bermanfaat dalam memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang tingkat kejahatan, itu hanya berbuat sedikit sepanjang yang menyangkut data tingkat (level), kendatipun wajar sekali bagi Merton, teori tegang ini sama sekali tidak pernah ditujukan bagi prediksi tingkat individu (Bernard, 1987).
TEORI STRAIN Merton berbeda dengan Asosiasi Diferensial pada karir personal. Apabila Sutherland berusaha merumuskan proses perkembangan seseorang menjadi kriminal melalui belajar di tengah asosiasi yang beraneka ragam, maka Merton dalam TEORI STRAIN lebih menekankan pada terjadinya peristiwa situasional dimana seseorang karena “ketegangan” yang terlalu berpengaruh menjadi tanpa kendali dan berbuat kejahatan.
Dalam peristiwa kekacauan massal maka peran individual yang didorong massal lebih bersifat temporer dan tidak membekas menjadi kriminal karir. Oleh karena itu tidak menghemat bahwa sementara pakar dan peneliti mengkombinasikan TEORI STRAIN ini dengan teori-teori lain seperti dengan teori kontrol sosial, teori asosiasi diferensial dan lain sebagainya. Pendekatan teori yang lebih bersifat psikologis betapapun dapat menjawab mengapa seseorang terlibat kejahatan di suatu waktu dan tempat tertentu. Sebenarnya tekanan lebih terletak pada peristiwa insidentil yang cukup menggetarkan.





Kritik terhadap TEORI STRAIN
Meskipun teori  Merton terus memainkan peran dalam teorisasi sosiologis kejahatan, namun ada keterbatasan teori kejahatan yang telah diidentifikasi. Kritik pertama dari teori ini,  dikemukakan oleh Albert Cohen,  membahas fakta bahwa ada jumlah cukup kejahatan / perilaku nakal yang "non-utilitarian, berbahaya, dan negativistic" (O'Grady, 2011), yang menyoroti bahwa tidak semua kejahatan yang dijelaskan dengan menggunakan teori Merton. Meskipun Merton dapat menjelaskan kejahatan seperti penipuan dan pencurian atas dasar inovasi, ia tidak dapat menjelaskan kejahatan remaja yang sering terlibat dalam status sosial daripada akuisisi material. Selanjutnya, teori ini  gagal untuk merespon isu-isu seperti ras dan gender. Selain itu, TEORI STRAIN  tidak dapat menjelaskan fenomena kejahatan kerah putih.
Robert Dubin (1959) melihat penyimpangan sebagai fungsi dari masyarakat, mempertanyakan asumsi bahwa adaptasi menyimpang untuk situasi anomie yang selalu merugikan masyarakat. Sebagai contoh, seorang individu diadaptasi ritualistik masih bermain sesuai aturan dan mengambil bagian dalam masyarakat. Penyimpangan hanya terletak pada meninggalkan satu atau lebih tujuannya budaya diresepkan. Dubin mengatakan bahwa fokus Merton pada hubungan antara tujuan masyarakat ditekankan, dan sarana yang ditentukan dilembagakan tidak cukup.
Dubin merasa bahwa perbedaan lebih lanjut harus dibuat antara tujuan budaya, sarana kelembagaan dan norma kelembagaan karena individu memandang norma subyektif, menginterpretasikannya dan bertindak atas mereka berbeda. Pengalaman pendidikan pribadi, nilai, dan sikap dapat mempengaruhi individu untuk menginternalisasi norma satu cara. Individu lain dengan pengalaman yang berbeda sah internalisasi norma yang sama secara berbeda. Keduanya dapat bertindak secara rasional dalam hal mereka sendiri, tetapi perilaku yang dihasilkan berbeda.
Dubin juga berpikir bahwa perbedaan harus dibuat antara perilaku sebenarnya dari aktor dan nilai-nilai yang mendorong perilaku. Daripada Inovasi, Dubin diusulkan Inovasi Perilaku dan Inovasi Nilai. Demikian pula, dalam ritualisme, ia mengusulkan ritualisme Perilaku dan ritualisme Nilai (Dubin, 1959: 147-149). Merton (1959: 177-189) mengomentari revisi Dubin, mengklaim bahwa meskipun Dubin memang membuat kontribusi yang valid, mereka mengambil fokus dari penyimpangan.
Pada tahun 1992, Robert Agnew menegaskan bahwa TEORI STRAIN bisa menjadi sentral dalam menjelaskan kejahatan dan penyimpangan, tetapi itu diperlukan revisi sehingga tidak terikat pada kelas sosial atau variabel budaya, tetapi kembali berfokus pada norma-norma. Untuk tujuan ini, Agnew mengajukan TEORI STRAIN Umum yang bukan struktural maupun antarpribadi melainkan individu dan emosional, memberikan perhatian utama terhadap lingkungan sosial individu. Dia berargumen bahwa seseorang yang sebenarnya atau diantisipasi kegagalan untuk mencapai tujuan positif dihargai, penghapusan aktual atau yang diantisipasi dari rangsangan positif dihargai, dan presentasi yang sebenarnya atau yang diantisipasi dari rangsangan negatif semua hasil pada galur.Kemarahan dan frustrasi mengkonfirmasi hubungan negatif. 
Pola-pola perilaku yang dihasilkan akan sering ditandai oleh lebih dari bagian mereka dari tindakan sepihak karena seorang individu akan keinginan alami untuk menghindari penolakan tidak menyenangkan, dan tindakan sepihak (terutama ketika antisosial) akan lebih berkontribusi untuk keterasingan individu dari masyarakat. Jika penolakan tertentu yang umum ke dalam perasaan bahwa lingkungan yang tidak mendukung, emosi negatif lebih kuat dapat memotivasi individu untuk terlibat dalam kejahatan. Hal ini kemungkinan besar untuk menjadi kenyataan bagi individu muda, dan Agnew menyarankan bahwa penelitian fokus pada besarnya, kebaruan, durasi, dan pengelompokan seperti kejang-peristiwa terkait untuk menentukan apakah seseorang berupaya dengan ketegangan dengan cara pidana atau sesuai. 
Temperamen, kecerdasan, keterampilan interpersonal, self-efficacy, kehadiran dukungan sosial konvensional, dan tidak adanya hubungan dengan teman sebaya, antisosial (misalnya, kriminal) dan status oleh Agnew diidentifikasikan adalah sebagai menguntungkan.
Akers (2000: 159) telah dioperasionalkan versi Agnew dari TEORI STRAIN, sebagai berikut: Kegagalan untuk mencapai tujuan positif dinilai dari: 
1.    kesenjangan antara harapan dan prestasi yang sebenarnya akan berasal dari tujuan pribadi jangka pendek dan jangka panjang, dan beberapa dari tujuan tersebut tidak akan pernah terwujud karena situasi darurat termasuk kelemahan yang melekat dan peluang diblokir oleh orang lain.
2.    perbedaan antara pandangan dari apa yang seseorang percaya hasilnya seharusnya dan apa yang sebenarnya menyebabkan meningkatkan kekecewaan pribadi. Frustrasi belum tentu karena adanya campur tangan luar dengan tujuan dihargai, tetapi efek langsung terhadap kemarahan, dan memiliki efek tidak langsung pada kejahatan serius dan agresi. 
Agnew dan White (1992) telah menghasilkan bukti empiris yang menunjukkan bahwa TEORI STRAIN umum dapat menghubungkan penjahat dan pengguna narkoba, dan bahwa efek paling kuat pada penjahat yang dipelajari adalah kenakalan teman-teman mereka. Mereka tertarik pada penggunaan narkoba karena tampaknya tidak mewakili upaya untuk marah atau sakit hati,  pelarian diri, tetapi "digunakan terutama untuk mengelola dampak negatif yang disebabkan oleh ketegangan".
Sampai saat ini, TEORI STRAIN telah peduli dengan jenis strain (ketegangan) daripada sumber strain(ketegangan), sedangkan tekanan atas suatu peristiwa dapat terbukti mengganggu pencapaian harapan dan hasil yang adil. Ini mungkin peristiwa penting yang menumpuk dari waktu ke waktu. 
Frustrasi menyebabkan ketidakpuasan, dendam, amarah, dan semua emosi yang lazim berhubungan dengan ketegangan dalam kriminologi. Maka  wajar bagi individu untuk merasa tertekan ketika mereka kecewa atas upaya mereka hanya diberi sedikit apresiasi,  bila dibandingkan dengan apresiasi yang diberikan kepada orang lain lebih besar untuk hasil upaya yang serupa.
 Agnew (1992) memperlakukan kemarahan sebagai emosi yang paling penting karena hampir selalu keluar diarahkan dan sering terkait dengan kerusakan dalam hubungan. Penelitian menunjukkan bahwa hubungan stres dan kejahatan adalah sangat dekat. Terlepas dari perasaan bersalah, usia, dan kapasitas saat peristiwa terjadi baik secara bersamaan atau secara berurutan.

IV.  KAITAN DENGAN REALITAS
Perbuatan Kriminal yang dilakukan Remaja Kota Jayapura
Problema remaja merupakan topik pembicaraan di negara mana pun di seluruh dunia. Negara-negara super modern pun masih saja mempunyai persoalan dengan perkembangan remajanya. Pada kenyataannya negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, problema remaja cukup ruwet. Hal ini disebabkan banyak faktor, terutama sekali para remaja di negara berkembang yang belum siap menerima perubahan yang begitu cepatnya. Sementara itu lingkungan budaya yang begitu kukuh berakar dalam pribadi telah menentukan sikap tertentu terhadap perubahan tersebut. Akan tetapi keadaan jiwa remaja yang masih dalam keadaan transisi menunjukkan sikap labil dan gampang sekali terpengaruh terhadap sesuatu yang datang pada dirinya, sehingga kadang-kadang timbul konflik pada diri dengan lingkungannya. Hal ini memancar kepada tingkah laku yang mengandung problema terhadap lingkungan dan terhadap dirinya sendiri.
Perkembangan teknologi dan menjamurnya produk produk industri yang menawarkan kenikmatan dan kemewahan kerap memancing orang untuk dengan seketika memiliki dan menikmatinya. Hal ini kian menjadi karena dibarengi oleh zaman yang banyak mengedepankan paham hedonisme dan materialisme, hidup serba instant dan mengedepankan faktor-faktor kenikmatan. Pelaku kriminalitas  tidak saja dilakukan oleh orang dewasa/tua melainkan juga banyak dilakukan oleh anak-anak remaja.
Perbuatan kriminal diidentifikasi sebagai perbuatan yang menimbulkan ketakutan, keresahan, ketidaktentraman, masyarakat, sehingga perbuatan tersebut merupakam perbuatan yang merugikan oleh karenanya perbuatan tersebut di kelompokan menjadi tindak pidana yang pelakunya dapat diancam dengan hukuman tertentu dalam KUHP Indonesia.
Kejahatan yang terjadi dimasyarakat, baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun remaja dirasakan sangat menimbulkan keresahan dan mengangganggu keamanan dan ketertibaban. Akan tetapi jika kriminalitas yang dilakukan oleh remaja trennya meningat terus baik kuantitas maupun kualitasnya dan dirasakan kian massif hal tersebut sudah memenuhi derajat mengkhawatirkan, sebagaimana terjadi belakangan ini karena:
  1. Kejahatan tersebut dilakukan oleh generasi muda yang diharapkan akan menjadi pribadi-pribadi yang sehat dan berkualitas, karena di benaknya akan ada tanggung jawab yang diemban sebagai pemimpin masyarakatnya pada masa mendatang.
  2. Remaja dengan semangat dan emosional yang besar sesunggungguhnya merupakan potensi yang besar untuk dimanfaatkan pada hal-hal yang positif. Akan tetapi sumberdaya yang besar tersebut jika disalahgunakan  maka akan menimbulkan dampak kerugian yang besar pula.

Menyikapi hal tersebut tentu menarik untuk mengetahui secara teoretik kriminologis, mengapa individu terutama remaja dapat terdorong terjerumus melakukan kriminaliatas.
Secara terminologi kejahatan kaum remaja adalah terjemahan dari istilah juvenile delinquency, yakni kejahatan yang dilakukan oleh individu usia remaja yakni antara usia 11 tahun hingga 19 tahun. Kejahatan tersebut umumnya terjadi di kota kota besar dan Negara industri. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan hal seperti itu terjadi juga dikota yang sedang tumbuh berkembang seperti Kota Jayapura ini.
Menurut Sofyan S. Willis, kenakalan remaja itu adalah disebabkan kegagalan mereka dalam memperoleh penghargaan dari masyarakat dimana remaja itu tinggal. Penghargaan yang diharapkan remaja itu ialah dalam bentuk tugas dan tanggung jawab seperti orang dewasa. Mereka menuntut suatu peranan sebagaimana yang dilakukan orang dewasa.
Sementara itu Fuad Hassan mendefinisikan kenakalan remaja sebagai kelakuan atau perbuatan anti sosial dan anti normative.  Sedangkan menurut Kusumanto, “Juvenile Deliquency” atau kenakalan remaja ialah tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik oleh suatu lingkungan atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan.
Kesimpulan Yesmil Anwar dan Adang dalam bukunya yang berjudul Kriminologi, bahwa kenakalan remaja adalah tindak perbuatan para remaja yang bertentangan dengan hukum, agama dan norma-norma mesyarakat sehingga akibatnya dapat merugikan orang lain, mengganggu ketentraman umum dan juga merusak dirinya sendiri.

Menurut Yesmil Anwar dan Adang, kenakalan remaja dibagi menjadi empat jenis :
1.    Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, pembunuhan, dan lain-lain.
2.    Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain.
3.    Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat
4.    Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh kriminolog dalam menjelaskan faktor-faktor  yang menyebabkan remaja melakukan perbuatan kriminal, termasuk salah satunya adalah TEORI STRAIN yang dikemukakan oleh Merton.
Merton berpendapat kejahatan ini disebabkan tidak pararelnya antara kebudayaan yang mendorong masyaraktat untuk memperoleh sukses yang setinggi-tingginya dalam kehidupan. Sementara sumber daya yang tersedia untuk mencapainya secara konvensional tidak memadai. Sukses dalam pengertian remaja diukur dari hasil pencapaian prestasi belajar, mempunyai barang-barang mewah seperti baju dan tas merk ternama serta model terkini, handphone bermerk, ipad, sepeda motor jenis racing dan sebagainya yang memang menjadi impian kaum muda ini.
Bagi anak remaja yang orang tuanya dari golongan ekonomi menengah kebawah yang hidup secara pas-pasan, tentunya apa yang  diidamkan tadi akan selalu tertanam dalam pikiran dan hasrat untuk memiliki kian hari kian besar. Remaja yang berpikirian pendek karena tidak ditanamkan pendidikan agama, akan berupaya untuk mewujudkan semua hasratnya dengan cara yang dikategorikan sebagai penyimpangan menurut teori Merton. Maka para remaja ini pun baik secara disadari atau pun tidak, telah terlibat dalam suatu perbuatan kriminal.
Jenis-jenis perbuatan kriminal yang terjadi belakangan ini di Kota Jayapura yang melibatkan remaja diantaranya meliputi, pemalakan, pencurian, penjambretan, pencopetan, pembegalan, dan lain-lain. Media masa baik cetak maupun elektronik, hampir tiap hari memberitakan adanya peristiwa kriminal tersebut.
Mengutip hasil liputan Tabloid JUBI edisi Maret 2012, bahwa menurut Psiokolog Muda Asri Parante S.pg  sejauh ini kenakalan remaja yang terjadi  di Kota Jayapura dapat dikategorikan ke dalam perilaku penyimpangan moral. Dalam perspektif perilaku, menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Kenakalan di kalangan remaja terjadi karena adanya faktor-faktor yang di indikasikan sebagai penyebab terjadinya kenakalan remaja.
Diantaranya kurangnya kasih sayang orang tua, kurangnya pengawasan dari orang tua, pergaulan dengan teman yang tidak sebaya, peran dari perkembangan iptek yang berdampak negatif, tidak adanya bimbingan kepribadian dari sekolah, dasar-dasar agama yang kurang, tidak adanya media penyalur bakat dan hobinya, kebebasan yang berlebihan, dan masalah yang dipendam. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Di jayapura baru baru ini ditemukkan sejumlah remaja yang masih mengenakkan seragam SMA ditemukkan pesta minuman keras.
Fakta yang paling memprihatinkan adalah semakin banyaknya remaja di Kota Jayapura yang mulai kenal dengan narkotika dan psikotropika pada usia yang sangat muda, yaitu: menghisap rokok pada usia sekolah dan menggunakan obat-obat/ heroin/ narkotika dan psikotropika jenis lain. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian yang serius adalah semakin meningkatnya populasi penderita HIV/AIDS di kalangan pecandu narkotika dan psikotropika dengan cara suntikan.

Jika dianalisa menurut Teori Strain  Merton:
Ø  Ada keinginan atau tujuan untuk memiliki atau pun menjadi sesuatu
Ø  Ada penghalang berupa keterbatasan ekonomi karena belum memiliki penghasilan sendiri, tergolong remaja broken home.
Ø  Ada dorongan yang kian lama kian kuat
Ø  Timbul frustasi karena adanya hambatan, namun keinginan tetap ada sehingga ada perasaan tegang.
Ø  Ada pilihan cara untuk mendapatkan atau mewujudkan semua hasratnya tersebut.
Ø  Remaja ini memilih cara yang tidak sah atau cara menyimpang dari norma yang ada dalam masyarakat
Ø  Dipilihlah cara penyimpangan tersebut, sehingga terjadilah suatu bentuk kejahatan yang dilakukan remaja.











V.     KESIMPULAN
Perbuatan kriminal remaja disebabkan adanya dorongan untuk mendapatkan kesuksesan dengan identitas memiliki akses pada kenikmatan hidup seorang remaja, pada sisi lain ketidakmampuan mendapatkannya disebabkan oleh keterbatasan sarana untuk mencapainya secara sah, sehingga dapat mendorong seorang remaja menggunakan cara-cara yang illegal.
TEORI STRAIN dapat digunakan untuk  memaparkan penyebab kenakalan remaja khususnya yang terjadi di Kota Jayapura. Adanya ketidakseimbangan yang menimbulkan ketegangan pada remaja. Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi remaja sehingga berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Bagaimanapun perbuatan kriminal yang dilakukan remaja merupakan suatu hal yang memprihatinkan, siapapun pelakunya selalu menimbulkan keresahan dan ketakutan, permasalahan ini tidak pernah hilang lenyap dari permukaan bumi dari zaman dahulu kala hingga sekarang ada bersamaan dengan adanya manusia. Dengan mengetahui faktor-faktor timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh remaja secara teoritis, penting artinya dan besar manfaatnya untuk merumuskan cara-cara mencegah dan cara-cara untuk menanggulanginya.