KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN SIRI
DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
A.
Latar
Belakang
Dalam
perkembangan kehidupan di masyarakat Indonesia, dikenal istilah perkawinan
siri. Istilah perkawinan siri merupakan perkawinan yang hanya mendasarkan pada
hukum Islam saja, tanpa mengindahkan peraturan hukum nasional Indonesia.
Terdapat
beberapa pengertian dari nikah siri terkait dengan praktik yang terjadi di
masyarakat :
ü Pengertian Pertama: Nikah Siri adalah pernikahan yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa wali dan saksi.
ü Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang
dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh
mengumumkannya kepada khalayak ramai.
ü Pengertian Ketiga: Nikah Siri adalah pernikahan
yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya
ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA.
Pernikahan seperti ini yang dinyatakan
sebagai nikah di bawah tangan atau nikah yang tidak tercatat
Selama
ini, masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Keberadaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
dimaksudkan untuk menampung keanekaragaman peraturan perkawinan dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang dapat dijadikan pegangan dan berlaku bagi semua
golongan masyarakat yang berada di Indonesia.
Perkawinan
menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Adapun
untuk melangsungkan perkawinan yang sah, harus dipenuhi syarat-syarat
perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan
perkawinan dalam pengertian hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghaliidzan, untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Hal
yang membedakan antara perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dengan perkawinan menurut hukum Islam adalah bahwa menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 perkawinan harus dilakukan di hadapan petugas pencatat perkawinan
sedangkan pada perkawinan yang mendasarkan pada hukum Islam, perkawinan cukup
dilakukan di hadapan ulama atau tokoh agama.
Dengan
tidak diakuinya perkawinan siri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka
perkawinan siri dianggap tidak sah menurut Undang-Undang. Kondisi demikian
tentunya menimbulkan permasalahan-permasalahan, khususnya mengenai kedudukan
hukum anak yang dihasilkan dari perkawinan siri.
B.
Perumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
kedudukan anak hasil kawin siri dalam keluarga ?
2. Bagaimana
hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung kawin menurut Hukum
Positif Indonesia?
3. Masalah-masalah
apa yang timbul dalam pembagian harta warisan tersebut dan bagaimana
pemecahannya ?
C.
Pembahasan
1. Kedudukan
anak hasil kawin siri dalam keluarga
Karena
perkawinan siri merupakan perkawinan yang tidak sah, maka anak yang dihasilkan
dari perkawinan siri juga disebut sebagai anak tidak sah. Untuk anak tidak sah seringkali
juga dipakai istilah anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam
doktrin dibedakan antara anak zinah, anak sumbang dan anak luar kawin (juga
disebut anak luar kawin dalam pengertian sempit).
Anak
hasil perkawinan siri termasuk dalam golongan anak luar kawin dalam pengertian
sempit, yaitu anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang keduanya tidak terikat dalam perkawinan yang sah dan
tidak ada larangan untuk saling menikahi.
Mendasarkan
pada ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “dengan pengakuan
yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin timbulah hubungan perdata
antara anak dan bapak atau ibunya”, maka dapat dikatakan bahwa antara anak luar
kawin dengan ayah dan ibunya pada asasnya tidak ada hubungan hukum, dan
hubungan hukum tersebut baru ada kalau ayah dan atau ibunya memberikan
pengakuan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan anak hasil perkawinan siri dalam
keluarga adalah tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan ibunya.
2. Hak
waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung kawin menurut Hukum
Positif Indonesia.
Berpedoman
pada kedudukan anak hasil perkawinan siri yang dinyatakan tidak mempunyai
hubungan perdata dengan ayah dan ibunya, tentu saja membawa konsekuensi bahwa
anak tersebut juga tidak memiliki hak waris atas harta peninggalan ayah dan
ibunya.
Kepastian hukum untuk para pasangan
yang melakukan nikah siri sedianya memang belum didapati secara penuh
dikarenakan pernikahan ini dikatakan merugikan pihak wanita ke depannya.
Selain anak tidak dapat memiliki
akte lahir karena tidak tercantumnya nama ayah, wanita yang berpisah dari
pasangannya kelak tidak akan mendapatkan hak waris untuk anaknya.
Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka
anak yang lahir dari pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan
ibunya atau keluarga ibunya. Pasal
42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI
mengenai waris yaitu Pasal 186 yang
berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling
mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia
hanya mewaris dari ibunya saja.
Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang berhak
mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya (Pewaris) atau
anak luar kawin yang disahkan pada
waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya.
Untuk anak luar kawin yang tidak
sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya),
berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang
menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus
dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Jadi anak luar kawin tersebut dapat
membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Namun demikian, jika
mengacu pada Pasal 285 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga
menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya
tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak
istri dan anak-anak kandung pewaris. Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap
tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil
perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah
kandungnya.
3. Masalah-masalah
yang timbul dalam pembagian harta warisan dan pemecahannya
Disebutkan
di atas, bahwa anak hasil perkawinan siri tidak memiliki hak waris atas harta
peninggalan ayah dan ibunya. Untuk memecahkan masalah tersebut, usaha yang
dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengakuan terhadap anak tersebut, baik
melalui pengakuan sukarela maupun melalui pengakuan terpaksa.
Anak luar kawin hanya mempunyai hak
waris terhadap warisan ayah/ibunya sepanjang ayah/ibunya sepanjang ayah
ibunya telah mengakuinya dengan sah.Jika ALK belum diakui tidak ada hubungan
perdata antara anak tersebut dengan orang tuanya itu dan tanpa hubungan perdata
(tidak ada hubungan perdata (tidak ada pertalian keluarga) maka
tidak ada pula hubungan pewarisan antara mereka.
Meskipun anak luar kawin mempunyai
hak waris terhadap orang tuanya hak warisannya itu sangat “inferior sifatnya
jika dibandingkan dengan hak waris anak-anak sah karena :
1. Ia tidak mempunyai hak waris
tersendiri, dalam arti kata terhadap warisan orang tuanya itu ia tidak mungkin
mewaris sendirian sepanjang orang tuanya masih mempunyai keluarga
sedarah dalam batas derajat yang boleh mewaris yaitu enam derajat.
2. Ia selalu “membonceng” pada salah
satu kelas ahli waris sah yang empat. ALK itu hanya mempunyai hak waris
tersendiri jika orang tuanya tidak meninggalkan keluarga yang termasuk dalam
keempat-empat kelas ahli waris sah.
3.
Porsi
atau bahagian yang diterimanya adalah lebih kecil dari porsi yang
akan diterimanya sekiranya ia adalah anak sah. Besar kecilnya porsi itu bukan
saja ditentukan oleh berapa saja ditentukan oleh berapa orang
temannya yang mewaris, akan tetapi juga dan terutama sekali oleh kenyataan
ahliwaris kelas berapa temannya mewaris itu.
Hak
waris anak luar kawin yang diakui sah diatur dalam pasal 862
sampai diatur dalam pasal 862 sampai dengan pasal 873.
D.
Kesimpulan
1. Kedudukan
anak hasil kawin siri dalam keluarga adalah tidak mempunyai hubungan hukum
dengan ayahnya ataupun dengan ibunya.
2. Anak
hasil kawin siri tidak memiliki hak waris atas harta peninggalan ayah dan
ibunya.
3. Masalah
yang timbul dalam pembagian waris terhadap anak hasil kawin siri adalah bahwa
anak hasil perkawinan siri tidak memiliki hak waris atas harta peninggalan ayah
dan ibunya. Untuk memecahkan masalah tersebut, usaha yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan pengakuan terhadap anak tersebut, baik melalui
pengakuan sukarela maupun melalui pengakuan terpaksa.